Banyak klub besar dengan segudang prestasi di jagat sepak bola. Tapi
kenapa hati ini terpaut pada klub merah dari Merseyside? Pertanyaan ini
mungkin susah dijawab karena mengandung banyak subyektifitas. Kita bisa
memilih klub manapun sebagai idola kita. Walaupun klub itu ada di
belahan dunia lain dan kita, entah mengapa, memilki ikatan emosional
yang susah dijelaskan. Dan pilihan saya jatuh pada klub Liverpool FC.
Memang yang namanya Fans, tidak ada yang bisa menghalangi eforia
untuk klub kesayangannya. Klub kalah, kita sedih. Klub menang, kita ikut
senang. Berusaha menabung untuk bisa beli jersey kesayangan. Tembok
kamar yang dipenuhi poster klub dan pemain. Rasanya memang mirip jatuh
cinta J . Oleh karena itu tulisan ini sangat subyektif karena perasaan
yang sama juga bisa dirasakan oleh semua fans sepak bola, dalam dan luar
negeri.
Di medio awal 90-an, saya mulai mendukung LFC. Kok bisa? Kenal juga
engga sama pemiliknya. Tidak ada satupun kerabat yang main di klub ini.
Lalu kenapa bisa? Ya itu tadi. Ini mirip jatuh cinta. Susah dijelaskan.
Di era 90-an ini LFC ada dalam masa antiklimaks dari kedigjayaannya. Kok
mau-maunya mendukung klub yang ngga pernah juara liga? Saya hanya
tersenyum bila ada yang menanyakan hal itu. Senyum yang mengandung arti;
“Loe ngga bakal ngerti kenapa gue support klub ini”.Ini pilihan yang
tidak pernah disesali. Ngga pernah juara, tapi malah makin cinta. Bodoh?
Ya itulah jatuh cinta. Tidak selalu rasional.
Sosok pertama yang melekat di benak masa muda saya adalah Ian Rush.
Kumisan, galak di kotak pinalti dan karismatik. Setelah itu ada Robbie
Fowler. Ya, The God bikin hati makin kepincut. Mungkin Robbie adalah
salah satu penyerang paling efektif di kotak pinalti. Tidak sedikit
pemain-pemain hebat yang singgah di LFC; Xabi Alonso, Mascherano,
Torress, dan sederet nama lainnya. Namun lagi-lagi tanpa mahkota liga
tapi hati ini tidak juga berpaling ke klub sebelah dengan lambang setan
yang lagi jago-jagonya. Tapi seperti kata ungkapan, yang paling
penting adalah lambang di dada, bukan nama di belakang jersey. Saya
mengangguk setuju. Selama mendukung LFC, memang belum sekalipun
merasakan eforia juara liga. Tapi ada banyak momen luar biasa yang tidak
akan saya tukar dengan klub manapun.
Bila saya tidak mendukung LFC, saya akan kehilangan momen piala UEFA
2001. LFC menundukkan Alaves dengan skor 5-4 dengan golden goal. Skor
yang luar biasa untuk final UEFA. LFC memang tidak punya Eric ‘tendangan
kungfu’ Cantona, tapi LFC punya Robbie ‘The God’ Fowler. Hattrick
Robbie ke gawang Arsenal dalam 4 menit 33 detik sangat sulit dilupakan.
Masih ingat bagaimana LFC mencukur Real Madrid 4-0 di Champions League
2009? Klub ini seperti ditakdirkan untuk selalu mencetak momen-momen
luar biasa. Piala FA 2006 dan piala Liga 2012 adalah 2 pertandingan LFC
yang tidak disarankan ditonton untuk fans yang lemah jantung. Begitu
intens dan drama yang tak kunjung selesai sampai peluit panjang ditiup.
Memang klub sebelah mampu meraih kemenangan 0-1 menjadi 2-1 di injury
time dan juara Champion League adalah suatu momen yang bagus. Tapi hey,
LFC mengejar ketinggalan 0-3 menjadi 3-3 dan menang adu pinalti di Final
Champion League. Dalam 100 tahun kedepan, klub manapun akan sulit
mendapatkan momen seperti itu. Ini satu tips buat fans LFC; bila sedang
kehilangan semangat dalam hal apapun, coba tonton footage pertandingan
tersebut. Dijamin anda akan tertular inspirasi dan semangat yang dibakar
oleh Stevie G dan seluruh fans The Reds di Istambul malam itu.
Pertandingan itu begitu megah dan penuh dengan drama dengan hasil yang
luar biasa sehingga dinobatkan sebagai The Greatest Final in competition
history. Oh ya, Malam itu juga saat dimana Andriy Shevchenko
kehilangan 1/3 kepercayaan dirinya. J
Kalau bicara subyektifitas memang tidak ada habisnya. Namun saya
bangga sudah memilih LFC sebagai klub yang saya dukung. Akan datang
lebih banyak momen istimewa yang akan tersimpan manis di kenangan. Satu
lagi yang saya syukuri, saya tidak pernah melihat nama G. N*ville di
line up tim pujaan saya. Thank God.
#YNWA
0 komentar:
Posting Komentar